Saturday, October 14, 2017

ETNOMATEMATIKA

A.    Pengertian Etnomatematika
1. Pengertian awal :

The term ‘ethnomathematics’ has been used by D’Ambrosio (1985) to mean “the mathematical practices of identifiable cultural groups and may be regarded as the study of mathematical ideas found in any culture”. (Rosa & Orey, 2011 : 35).

2. Pengertian selanjutnya :

“Ethnomathematics is used to express the relationship between culture and mathematics” (D’Ambrosio, 2001: 308, dalam Heron & Barta, 2009 : 26).

Tambahan penjelasan tentang pengertian etnomatematika :

• “Until the early 1980s, the notion ‘ethnomathematics’ was reserved for the mathematical practices of ‘nonliterate’ – formerly labeled as ‘primitive’- peoples (Ascher & Ascher, 1997) “ (Francois, 2009 : 1517).

• “D’Ambrosio (1997), who became ‘the intellectual father’ of the ethnomathematics program proposed ‘a broader concept of ethno’, to include all culturally identifiable groups with their jargons, codes, symbols, myths, and even specific ways of reasoning and inferring” (Francois, 2009 : 1517).

• “This changed and enriched meaning of the concept ‘ethnomathematics’ has had its impact on the philosophy of mathematics education. From now on, ethnomathematics became meaningful in evey classroom since multicultural classroom settings are generalized all over the world. Every classroom nowadays is characterized by (ethnical, linguistic, gender, social, cultural ...) diversity”. (Francois, 2009 : 1517).

B.     Pengertian budaya (culture)
·         Koentjaraningrat (1987:9) : Budaya (kebudayaan) adalah “keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar; beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu”.

·         “What most (definitions of culture) have in common, and what is significant to us, is that in any culture people share a language, a place, traditions, and ways of organizing, interpreting, conceptualizing, and giving meaning to their physical and social worlds” (Asher, 1991: 2, dalam Heron & Barta, 2009 : 26).

·         Culture is viewed as a group’s or person’s dialect, geographical locale, or views of the world rather than a restricted view that is solely focused on a group’s artifacts or a person’s ethnicity (Heron & Barta, 2009: 26-27).

C.    Unsur-unsur budaya
1. Yang bersifat fisik : benda-benda peninggalan (artifacts), bangunan-bangunan, dsb.

2. Yang bersifat non-fisik :

a. Yang bersifat kognitif

b. Yang bersifat afektif

c. Yang bersifat psikomotorik

D.    Hal-hal yang dikaji dalam Etnomatematika
1. Lambang-lambang, konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan keterampilan-keterampilan matematis yang ada pada kelompok-kelompok bangsa, suku, ataupun kelompok masyarakat lainnya.

2. Perbedaan ataupun kesamaan dalam hal-hal yang bersifat matematis antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya dan faktor-faktor yang ada di belakang perbedaan atau kesamaan tersebut.

3. Hal-hal yang menarik atau spesifik yang ada pada suatu kelompok atau beberapa kelompok masyarakat tertentu, misalnya cara berpikir, cara bersikap, cara berbahasa, dan sebagainya, yang ada kaitannya dengan matematika.

4. Berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat yang ada kaitannya dengan matematika, misalnya :

• Literasi keuangan (financial literacy) dan kesadaran ekonomi (economic awareness)

• Keadilan sosial (social justice)

• Kesadaran budaya (cultural awareness)

• Demokrasi (democracy) dan kesadaran politik (political awareness)

E.     Tujuan dari Etnomatematika
• Agar keterkaitan antara matematika dan budaya bisa lebih dipahami, sehingga persepsi siswa dan masyarakat tentang matematika menjadi lebih tepat, dan pembelajaran matematika bisa lebih disesuaikan dengan konteks budaya siswa dan masyarakat, dan matematika bisa lebih mudah dipahami karena tidak lagi dipersepsikan sebagai sesuatu yang ‘asing’ oleh siswa dan masyarakat.

• Agar aplikasi dan manfaat matematika bagi kehidupan siswa dan masyarakat luas lebih dapat dioptimalkan, sehingga siswa dan masyarakat memperoleh manfaat yang optimal dari kegiatan belajar matematika.




BUAT TAMBAH TAMBAHAN

Untuk tambahan Pendahuluan
Shirley (Agus Hartoyo, 2012), berpandangan bahwa sekarang ini bidang etnomatematika, yaitu matematika yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan sesuai dengan kebudayaan setempat, dapat digunakan sebagai pusat proses pembelajaran dan metode pengajaran, walaupun masih relatif baru dalam dunia pendidikan. Etnomatematika membutuhkan interpretasi yang dinamis. Sebagaimana dikemukakan oleh D'Ambrosio (1991) bahwa "The term requires a dynamic interpretation because it describes concepts that are themselves neither rigid nor singularnamely, ethno and mathematics". Istilah etno menggambarkan semua hal yang membentuk identitas budaya suatu kelompok, yaitu bahasa, kode, nilai-nilai, jargon, keyakinan, makanan dan pakaian, kebiasaan, dan sifat-sifat fisik. Sedangkan matematika mencakup pandangan yang luas mengenai aritmetika, mengklasifikasikan, mengurutkan, menyimpulkan, dan modeling. Etnomatematika berfungsi untuk mengekspresikan hubungan antara budaya dan matematika. Dengan demikian, etnomatematika adalah suatu ilmu yang digunakan untuk memahami bagaimana matematika diadaptasi dari sebuah budaya.

Untuk Tujuan
Menguasai dan mampu menggali serta mengidentifikasi ide-ide baik pemikiran maupun praktik yang dikembangkan oleh semua kalangan budaya sekitar, baik yang bersifat statis maupun dinamis yang berkembang dan merupakan warisan dari nenek moyang hingga saat ini baik yang berupa artefak, karya sastra maupun tradisi, yang dapat digunakan untuk membangun pemikiran dan bangunan matematika serta memanfaatkan dan mengaplikasikannya untuk pengembangan pembelajaran matematika berbasis pada kajian teori dan kajian riset untuk mempersiapkan diri memperoleh kompetensi sebagai guru matematika yang profesional.


UNTUK SARAN
Kurang dapat mengidentifikasi unsur matematika yang terdapat pada tempat - tempat tersebut.
Pengidentifikasian unsur matematika kurang bervariasi karena sebagian besar mahasiswa hanya
mengamati bentuk geometri saja.

UNTUK PENDAHULUAN
Matematika telah menjadi bagian dari kebudayaan manusia sudah sangat lama. Di mulai dari jaman pra sejarah, jaman bangsa Mesir kuno, bangsa Yunani, bangsa India, bangsa Cina, bangsa Romawi, hingga bangsa Eropa di masa kini. Kreasi manusia dalam bentuk kebudayaan terwujud dalam bentuk gagasan, aktivitas maupun artefak. Nilai-nilai yang tersimpan dalam perilaku budaya manusia menunjukkan daya rasa estetis dan daya kreasi manusia. Integrasi antara matematika dan budaya dalam bentuk yang kontekstual dan realistik. Matematika sebagai bagian dari kebudayaan dapat diterapkan dan digunakan untuk menganalisis hal-hal yang sifatnya inovatif. Jadi, matematika dapat digunakan sebagai alat untuk mengembangkan budaya yang unggul. Selain itu, usaha untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul, sadar atau tidak
manusia telah menggunakan matematika. Begitu juga dalam pola hidup suatu komunitas masyarakat dalam mempertahankan kebudayaannnya, dimungkinkan komunitas masyarakat
tersebut menggunakan ide-ide matematis. Ide-ide matematis dalam konteks kegiatan budaya mulai dipandang oleh para ahli pendidikan matematika sebagai suatu hal Sifat matematika cenderung linier dan kaku, tetapi apabila diintegrasikan dengan sesuatu yang soft seperti budaya, maka pemikiran itu menjadi lentur. Misalnya memikirkan bentuk-bentuk keindahan arsitektur. Struktur bangunan dipikirkan dengan matematika tetapi ornamennya menggunakan aestetika. Kelenturan tersebut muncul ketika memikirkan struktur bangunan tidak semata dari aspek bentuk
(geometri tiga dimensi), tetapi juga mempertimbangkan rasa keindahan bentuk tersebut. Berbagai produk budaya warisan leluhur kita menampakkan kreativitas seni yang mengandung unsur matematika. Contohnya pada motif songket yang mengandung bentukan geometri dua
dimensi, ornamen ukiran maupun bentuk arsitektur pada rumah adat yang mengandung pola geometri tiga dimensi. Warisan budaya dapat dikembangkan sesuai dengan konteks masa kini. Produk-produk budaya berupa artefak seperti arsitektur bangunan, meubel ukiran, songket yang
semula memiliki motif atau ornamen yang sudah pakem diberi peluang untuk dikembangkan melalui berpikir kreatif matematis. Di lain pihak, matematika modern muncul dengan ditandai dengan wujudnya teori himpunan yang merata di setiap kurikulum. Pijakannya dikembangkan dari pendekatan matematika yang berlandaskan mantikisme dan formalisme semata-mata.
Dengan kata lain, matematika modern terlalu patuh terhadap kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh matematikawan Eropa. Selain itu, Matematika modern terlalu menekan kepada aturan-aturan begitu sehingga pelajar matematika ‘tidak lagi’ memiliki kebebasan untuk melakukan caracara
penyelesaian yang berbeda. Upaya pengaitan matematika dengan budaya kembali didengungkan oleh beberapa ahli matematika. Matematika yang betul-betul digali berdasarkan kearifan lokal yang dimiliki oleh komunitas pemegang budaya tersebut. Upaya ini selanjutnya lebih dikenal dengan istilah Etnomatematika. Etnomatematika muncul bukan karena kegagalan Matematika Modern, tetapi didasarkan pada kesadaran baru tentang pengenalan potensi diri setiap kumpulan
masyarakat terutama di bidang matematika. Kurikulum matematika selama ini tidak mampu menghilangkan perasaan rendah diri dari masyarakat masyarakat dunia ketiga, kerana pendidikan matematika selama ini sarat dengan teori-terori yang ditemukan oleh orang dari benua eropa,
sedangkan budaya yang merupakan kearifan lokal itu sendiri terabaikan. Di sisi lain, suatu pembelajaran matematika akan berkembang ke arah yang optimal apabila  Etnomatematika dalam bentuk dan tujuan asalnya oleh D’Ambrosio pada tahun 1977 itu berupa penggalian sejarah matematika dari budaya sendiri dan psikologi pembelajaran serta pengajaran anak bangsa sendiri. Etnomatematika muncul atau jawaban atas dominasi keilmuan secara Eropusatisme, tetapi tidak juga bertujuan untuk membelokkan sejarah matematika ke arah etnosentrisme. Penekanannya lebih kepada kebenaran dan kesimbangan sejarah. Sebagai contoh, banyak matematika atau prinsip sains yang berasal dari kebudayaan Islam tetapi kemudian diabaikan, atau ada unsur matematika yang sama dalam budaya sendiri tetapi tidak mau mengkajinya apatah
lagi memaparkan kepada dunia atau dimasukkan ke dalam kurikulum. Menurut Barton (Barton, 1994: 196), etnomatematika merupakan kajian yang meneliti cara sekelompok orang dari
budaya tertentu dalam memahami, mengekspresikan, dan menggunakan konsep-konsep serta praktik-praktik kebudayaannya yang digambarkan oleh peneliti sebagai sesuatu yang matematis..
Oleh karena Ethnomathematics adalah sebuah kajian keilmuan haruslah memiliki objek kajian. Objek kajian dari etnomatematika yaitu untuk mengungkap organisasi dari ide (konsep) yang tidak terpisah dari aktivitas matematika. Objek kajian etnomatematika didapatkan dengan dua cara yaitu: (1) menginvestigasi aktivitas matematika yang terdapat dalam kelompok budaya tertentu; (2) mengungkap konsep matematis yang terdapat dalam aktivitas tersebut (Barton, 1994: 196). Atas dasar pentingnya pengaitan budaya dengan pembelajaran matematika, maka penelitian etnomatematika perlu mendapat ruang.

TAMBAHAN UNTUK BUDAYA
Matematika dan Budaya
Kebudayaan berasal dari kata sansekerta yaitu buddayah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti budaya adalah pikiran dan akal budi. Dengan demikian budaya dapat dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan dengan akal budi dan pikiran. Sedangkan kebudayaan berarti keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yangdigunakan untuk memahami
lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakuknya. Menurut E. B. Tylor budaya merupakan keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan kebiasaan lain (Ratna, 2005). Sedangkan
menurut ilmu antropologi, budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985). Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh aktivitas manusia merupakan budaya atau kebudayaan karena hanya sedikit sekali tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak memerlukan belajar dalam membiasakannya. Sedangkan ahli sejarah budaya mengartikan budaya sebagai warisan atau tradisi suatu masyarakat. Kajian tentang kebudayaan dibagi menjadi tujuh unsur yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia, meliputi:
a. Bahasa, dengan wujud ilmu komunikasi dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel, dan lain sebagainya.
b. Sistem pengetahuan, meliputi science (ilmu-ilmu eksak) dan humanities (sastra, filsafat, sejarah, dsb).
c. Organisasi sosial, seperti upacaraupacara (kelahiran, pernikahan, kematian).
d. Sistem peralatan hidup dan teknologi, meliputi pakaian, makanan, alat-alat upacara, dan kemajuan teknologi lainnya.
e. Sistem mata pencaharian hidup. Sistem mata pencaharian adalah cara yang dilakukan oleh sekelompok orang sebagai kegiatan sehari-hari guna usaha pemenuhan kehidupan, dan menjadi
pokok penghidupan baginya seperti bertani, berlayar, dan sebagainya.
f. Sistem religi, baik sistem keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, roh, neraka, surga, maupun berupa upacara adat maupun benda-benda suci dan benda-benda religius (candi dan patung nenek moyang) dan lainnya.
g. Kesenian, dapat berupa seni rupa (lukisan), seni pertunjukan (tari, musik,) seni teater (wayang), seni arsitektur (rumah, bangunan, perahu, candi, dsb),berupa benda-benda indah, atau
kerajinan. Perkembangan matematika tidak hanya disatu lokasi saja, tetapi tumbuh dan berkembang di berbagai belahan bumi ini. Matematika tumbuh dan berkembang di wilayah India, Amerika, Arab, Cina, Eropa, bahkan Indonesia dan juga daerah yang lain. Pertumbuhan dan perkembangan matematika terjadi karena adanya tantangan hidup yang dihadapi manusia di berbagai wilayah dengan berbagai latar belakang budaya yang berbeda. Setiap budaya mengembangkan matematika dengan cara mereka sendiri, sehingga matematika dipandang sebagai hasil akal budi (pikiran) manusia dalam aktivitas masyarakat seharihari. Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa matematika merupakan produk budaya yang merupakan hasil abstraksi pikiran manusia, serta alat pemecahan masalah. Sebagaiman diungkapkan oleh Sembiring dalam Prabowo (2010) bahwa matematika adalah konstruksi
budaya manusia. Pandangan matematika sebagai elemen budaya bukanlah sesuatu yang baru. Ahli antropologi telah mengkajinya tetapi karena pengetahuannya tentang matematika
menyebakan generalisasinya menjadi terbatas, rekasi utama mereka hanya terbatas pada titik tertentu saja misalnya pengetahuan artimatika pada budaya primitif (Wilder, 1950). Meskipun begitu, ada juga ahli antroplogi yang mampu menjelaskan tentang lokus matematika realistik yang terinspirasi dari kajian para filsuf dan matematikawan (White, 1947)

TAMBAHAN UNTUK ETNOMATEMATIKA
Etnomatematika dalam Pengertian
Penelitian tentang Etnomatematika pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977 oleh D'Ambrosio, yang merupakan seorang matematikawan Brasil. Beliau mendefinisikan etnomatematika sebagai berikut:

The prefix ethno is today accepted as a very
broad term that refers to the socialcultural
context and therefore includes language, jargon,
and codes of behavior, myths, and symbols. The
derivation of mathema is difficult, but tends to
mean to explain, to know, to understand, and to
do activities such as ciphering, measuring,
classifying, inferring, and modeling. The suffix
tics is derived from techné, and has the same root
as technique” (Rosa & Orey 2011).

Secara bahasa, etnomatematika terdiri tiga kata yaitu awalan “etno” diartikan sebagai sesuatu yang sangat luas yang mengacu pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa, jargon, kode perilaku, mitos, dan symbol. Yang kedua kata dasar “mathema” cenderung berarti menjelaskan, mengetahui, memahami, dan melakukan kegiatan seperti pengkodean, mengukur, mengklasifikasi, menyimpulkan, dan yang terakhir pemodelan. Akhiran “tik “berasal dari techne, dan bermakna sama seperti teknik. Sedangkan secara istilah etnomatematika diartikan sebagai:

"The mathematics which is practiced among
identifiable cultural groups such as nationaltribe
societies, labour groups, children of
certain age brackets and professional classes" (D'Ambrosio, 1985)

Artinya: “Matematika yang dipraktekkan di antara kelompok budaya diidentifikasi seperti masyarakat nasional suku, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu dan kelas profesional" (D'Ambrosio, 1985) Istilah tersebut kemudian disempurnakan menjadi:

"I have been using the word ethnomathematics as
modes, styles, and techniques ( tics ) of
explanation, of understanding, and of coping with
the natural and cultural environment ( mathema )
in distinct cultural systems ( ethno )"
(D'Ambrosio, 1999, 146).

Artinya: "Saya telah menggunakan kata Etnomatematika sebagai mode, gaya, dan teknik (tics) menjelaskan, memahami, dan menghadapi lingkungan alam dan budaya (mathema) dalam sistem budaya yang berbeda (ethnos)" (D'Ambrosio, 1999, 146). Berdasarkan definisi tersebut,
etnomatematika dapat diartikan sebagai matematika yag dipraktikkan oleh kelompok budaya, seperti masyarakat perkotaan dan pedesaan, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu, masyarakat adat, dan lainnya. D'Ambrosio (1985) menyatakan bahwa tujuan dari adanya etnomatematika adalah untuk mengakui bahwa ada cara-cara berbeda dalam melakukan matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika akademik yang dikembangkan
oleh berbagai sektor masyarakat serta dengan mempertimbangkan modus yang berbeda di mana budaya yang berbeda merundingkan praktek matematika mereka (cara mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain dan lainnya). Dengan demikian, sebagai hasil dari sejarah budaya matematika dapat memiliki bentuk yang berbeda-beda dan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat pemakainya. Etnomatematika menggunakan konsep matematika secara luas yang terkait dengan berbagai aktivitas matematika,
meliputi aktivitas mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain, menentukan lokasi, dan lain sebagainya. Matematika memiliki sejarah panjang
sebagai disiplin ilmu yang bebas budaya yang tersisih dari nilai-nilai sosial (D’ambrossio, 1990).
Konsep Etnomatematika
Istilah ethnomathematics dalam bahasa Indonesia masih sangat jarang ditemukan, baik dalam kamus bahasa Indonesia maupun dalam kajian matematika yang dilakukan oleh para pemerhati disiplin ilmu matematika. Sebaliknya, ethnomathematics telah banyak dikaji dan diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Salah seorang ahli sains dari Malaysia, Shaharir Mohamad Zain menurunkan tulisannya dalam Berita Harian Online (18 Juni, 1997) menulis tentang Ethnomathematics ke dalam bahasa Melayu menjadi “etnomatematik” yang merujuk kepada upaya mengangkat etnis Islam Melayu yang selama ini berada dalam tatanan pengetahuan yang masih rendah baik di dalam bidang science pada umumnya maupun dalam bidang matematika khususnya. Menurut Shaharir, sejak tahun 1991, bidang “etnomatematik” dikaji secara bersama-sama melalui bidang ilmu sains dan menjadi satu sub-bidang sains matematik untuk diajarkan dalam ruangan kelas. Jika kata ethnomathematics telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu menjadi “etnomatematik,” seharusnya istilah ini dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “etnomatematika” yang dibangun dari sufiks etno- yang merujuk pada kelompok budaya dan matematika yang merupakan istilah yang sudah lama dikenal dan sudah menjadi disiplin ilmu tersendiri yang diajarkan di lingkungan pendidikan formal dan informal di Indonesia. Oleh karena itu, penulis menggunakan istilah “etnomatematika” sebagai transliterasi dari istilah ethnomathematics dan selanjutnya istilah etnomatematika digunakan pada kajian-kajian selanjutnya dalam pembahasan ini.
Seperti pembahasan sebelumnya, D’Ambrosio (dalam Rosa dan Orey, 2008:2-3) menguraikan etnomatematika secara etimologi melalui tiga akar kata dalam bahasa Yunani, ethno-, -mathema-, dan –tics untuk menjelaskan yang dimaksud dengan etnomatematika. Dalam perspektif ini, D’Ambrosio (1985:5) memberi definisi tentang etnomatematika sebagai ilmu matematika yang dipraktikkan oleh kelompok-kelompok budaya yang berbeda yang diidentifikasi sebagai masyarakat pribumi, kelompok pekerja, kelas-kelas profesional, dan kelompok anak-anak dari kelompok usia tertentu.
Selanjutnya Bishop (1988:182) mengemukakan bahwa ada 3 bidang yang sedang dikembangkan dalam etnomatematika yaitu: pertama, ilmu matematika dalam konteks budaya tradisional, seperti penelitian yang dilakukan oleh Asher (1991), Zaslavky (1973), Lean (1986) dan Haris (1991). Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi; kedua perkembangan matematika dalam masyarakat di negara-negara yang bukan negara Barat. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Ronan dan Needham (1981), Yoseph (1991), dan Gerdes (1991) dalam Bishop (1994). Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah yang didasarrkan pada dokumen-dokumen masa lampau; dan ketiga, ilmu matematika yang dimiliki oleh berbagai kelompok, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Lave (1984), Saxe (1990), Deabreu (1988), dan Carraher (1985) dalam Bishop (1994). Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sosial, yang fokusnya menekankan pada penggunaan matematika dalam situasi kehidupan nyata.

Etnomatematika sebagai ilmu matematika yang dipraktikkan oleh kelompok-kelompok budaya yang berbeda yang diidentifikasi sebagai masyarakat pribumi, kelompok pekerja, kelas-kelas profesional, dan kelompok anak-anak dari kelompok usia tertentu.

No comments:

Post a Comment