A.
Pengertian
Etnomatematika
1. Pengertian
awal :
The term
‘ethnomathematics’ has been used by D’Ambrosio (1985) to mean “the mathematical
practices of identifiable cultural groups and may be regarded as the study of
mathematical ideas found in any culture”. (Rosa & Orey, 2011 : 35).
2. Pengertian
selanjutnya :
“Ethnomathematics
is used to express the relationship between culture and mathematics”
(D’Ambrosio, 2001: 308, dalam Heron & Barta, 2009 : 26).
Tambahan
penjelasan tentang pengertian etnomatematika :
• “Until the
early 1980s, the notion ‘ethnomathematics’ was reserved for the mathematical
practices of ‘nonliterate’ – formerly labeled as ‘primitive’- peoples (Ascher
& Ascher, 1997) “ (Francois, 2009 : 1517).
• “D’Ambrosio
(1997), who became ‘the intellectual father’ of the ethnomathematics program
proposed ‘a broader concept of ethno’, to include all culturally identifiable
groups with their jargons, codes, symbols, myths, and even specific ways of
reasoning and inferring” (Francois, 2009 : 1517).
• “This changed
and enriched meaning of the concept ‘ethnomathematics’ has had its impact on
the philosophy of mathematics education. From now on, ethnomathematics became
meaningful in evey classroom since multicultural classroom settings are generalized
all over the world. Every classroom nowadays is characterized by (ethnical,
linguistic, gender, social, cultural ...) diversity”. (Francois, 2009 : 1517).
B.
Pengertian
budaya (culture)
·
Koentjaraningrat
(1987:9) : Budaya (kebudayaan) adalah “keseluruhan gagasan dan karya manusia
yang harus dibiasakannya dengan belajar; beserta keseluruhan dari hasil budi
dan karyanya itu”.
·
“What
most (definitions of culture) have in common, and what is significant to us, is
that in any culture people share a language, a place, traditions, and ways of
organizing, interpreting, conceptualizing, and giving meaning to their physical
and social worlds” (Asher, 1991: 2, dalam Heron & Barta, 2009 : 26).
·
Culture
is viewed as a group’s or person’s dialect, geographical locale, or views of
the world rather than a restricted view that is solely focused on a group’s
artifacts or a person’s ethnicity (Heron & Barta, 2009: 26-27).
C.
Unsur-unsur
budaya
1. Yang bersifat
fisik : benda-benda peninggalan (artifacts), bangunan-bangunan, dsb.
2. Yang bersifat
non-fisik :
a. Yang bersifat kognitif
b. Yang bersifat afektif
c. Yang bersifat psikomotorik
D.
Hal-hal yang
dikaji dalam Etnomatematika
1. Lambang-lambang,
konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan keterampilan-keterampilan matematis yang
ada pada kelompok-kelompok bangsa, suku, ataupun kelompok masyarakat lainnya.
2. Perbedaan
ataupun kesamaan dalam hal-hal yang bersifat matematis antara suatu kelompok masyarakat
dengan kelompok masyarakat lainnya dan faktor-faktor yang ada di belakang perbedaan
atau kesamaan tersebut.
3. Hal-hal yang
menarik atau spesifik yang ada pada suatu kelompok atau beberapa kelompok
masyarakat tertentu, misalnya cara berpikir, cara bersikap, cara berbahasa, dan
sebagainya, yang ada kaitannya dengan matematika.
4. Berbagai aspek
dalam kehidupan masyarakat yang ada kaitannya dengan matematika, misalnya :
• Literasi keuangan (financial literacy)
dan kesadaran ekonomi (economic awareness)
• Keadilan sosial (social justice)
• Kesadaran budaya (cultural awareness)
• Demokrasi (democracy) dan kesadaran
politik (political awareness)
E.
Tujuan dari
Etnomatematika
• Agar
keterkaitan antara matematika dan budaya bisa lebih dipahami, sehingga persepsi
siswa dan masyarakat tentang matematika menjadi lebih tepat, dan pembelajaran
matematika bisa lebih disesuaikan dengan konteks budaya siswa dan masyarakat,
dan matematika bisa lebih mudah dipahami karena tidak lagi dipersepsikan
sebagai sesuatu yang ‘asing’ oleh siswa dan masyarakat.
• Agar aplikasi
dan manfaat matematika bagi kehidupan siswa dan masyarakat luas lebih dapat
dioptimalkan, sehingga siswa dan masyarakat memperoleh manfaat yang optimal
dari kegiatan belajar matematika.
BUAT TAMBAH
TAMBAHAN
Untuk tambahan Pendahuluan
Shirley
(Agus Hartoyo, 2012), berpandangan bahwa sekarang ini bidang etnomatematika,
yaitu matematika yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan sesuai dengan
kebudayaan setempat, dapat digunakan sebagai pusat proses pembelajaran dan
metode pengajaran, walaupun masih relatif baru dalam dunia pendidikan.
Etnomatematika membutuhkan interpretasi yang dinamis. Sebagaimana dikemukakan
oleh D'Ambrosio (1991) bahwa "The term requires a dynamic interpretation
because it describes concepts that are themselves neither rigid nor
singularnamely, ethno and mathematics". Istilah etno
menggambarkan semua hal yang membentuk identitas budaya suatu kelompok, yaitu
bahasa, kode, nilai-nilai, jargon, keyakinan, makanan dan pakaian, kebiasaan,
dan sifat-sifat fisik. Sedangkan matematika mencakup pandangan yang luas mengenai
aritmetika, mengklasifikasikan, mengurutkan, menyimpulkan, dan modeling.
Etnomatematika berfungsi untuk mengekspresikan hubungan antara budaya dan
matematika. Dengan demikian, etnomatematika adalah suatu ilmu yang digunakan
untuk memahami bagaimana matematika diadaptasi dari sebuah budaya.
Untuk
Tujuan
Menguasai
dan mampu menggali serta mengidentifikasi ide-ide baik pemikiran maupun praktik
yang dikembangkan oleh semua kalangan budaya sekitar, baik yang bersifat statis
maupun dinamis yang berkembang dan merupakan warisan dari nenek moyang hingga
saat ini baik yang berupa artefak, karya sastra maupun tradisi, yang dapat
digunakan untuk membangun pemikiran dan bangunan matematika serta memanfaatkan
dan mengaplikasikannya untuk pengembangan pembelajaran matematika berbasis pada
kajian teori dan kajian riset untuk mempersiapkan diri memperoleh kompetensi
sebagai guru matematika yang profesional.
UNTUK SARAN
Kurang
dapat mengidentifikasi unsur matematika yang terdapat pada tempat - tempat tersebut.
Pengidentifikasian
unsur matematika kurang bervariasi karena sebagian besar mahasiswa hanya
mengamati
bentuk geometri saja.
UNTUK PENDAHULUAN
Matematika
telah menjadi bagian dari kebudayaan manusia sudah sangat lama. Di mulai dari jaman
pra sejarah, jaman bangsa Mesir kuno, bangsa Yunani, bangsa India, bangsa Cina,
bangsa Romawi, hingga bangsa Eropa di masa kini. Kreasi manusia dalam bentuk
kebudayaan terwujud dalam bentuk gagasan, aktivitas maupun artefak. Nilai-nilai
yang tersimpan dalam perilaku budaya manusia menunjukkan daya rasa estetis dan
daya kreasi manusia. Integrasi antara matematika dan budaya dalam bentuk yang
kontekstual dan realistik. Matematika sebagai bagian dari kebudayaan dapat
diterapkan dan digunakan untuk menganalisis hal-hal yang sifatnya inovatif.
Jadi, matematika dapat digunakan sebagai alat untuk mengembangkan budaya yang
unggul. Selain itu, usaha untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul, sadar
atau tidak
manusia
telah menggunakan matematika. Begitu juga dalam pola hidup suatu komunitas
masyarakat dalam mempertahankan kebudayaannnya, dimungkinkan komunitas
masyarakat
tersebut
menggunakan ide-ide matematis. Ide-ide matematis dalam konteks kegiatan budaya
mulai dipandang oleh para ahli pendidikan matematika sebagai suatu hal Sifat matematika
cenderung linier dan kaku, tetapi apabila diintegrasikan dengan sesuatu yang soft
seperti budaya, maka pemikiran itu menjadi lentur. Misalnya memikirkan
bentuk-bentuk keindahan arsitektur. Struktur bangunan dipikirkan dengan
matematika tetapi ornamennya menggunakan aestetika. Kelenturan tersebut muncul
ketika memikirkan struktur bangunan tidak semata dari aspek bentuk
(geometri
tiga dimensi), tetapi juga mempertimbangkan rasa keindahan bentuk tersebut.
Berbagai produk budaya warisan leluhur kita menampakkan kreativitas seni yang
mengandung unsur matematika. Contohnya pada motif songket yang mengandung
bentukan geometri dua
dimensi,
ornamen ukiran maupun bentuk arsitektur pada rumah adat yang mengandung pola
geometri tiga dimensi. Warisan budaya dapat dikembangkan sesuai dengan konteks
masa kini. Produk-produk budaya berupa artefak seperti arsitektur bangunan,
meubel ukiran, songket yang
semula
memiliki motif atau ornamen yang sudah pakem diberi peluang untuk dikembangkan
melalui berpikir kreatif matematis. Di lain pihak, matematika modern muncul dengan
ditandai dengan wujudnya teori himpunan yang merata di setiap kurikulum.
Pijakannya dikembangkan dari pendekatan matematika yang berlandaskan mantikisme
dan formalisme semata-mata.
Dengan
kata lain, matematika modern terlalu patuh terhadap kaidah-kaidah yang ditetapkan
oleh matematikawan Eropa. Selain itu, Matematika modern terlalu menekan kepada
aturan-aturan begitu sehingga pelajar matematika ‘tidak lagi’ memiliki
kebebasan untuk melakukan caracara
penyelesaian
yang berbeda. Upaya pengaitan matematika dengan budaya kembali didengungkan
oleh beberapa ahli matematika. Matematika yang betul-betul digali berdasarkan
kearifan lokal yang dimiliki oleh komunitas pemegang budaya tersebut. Upaya ini
selanjutnya lebih dikenal dengan istilah Etnomatematika. Etnomatematika muncul
bukan karena kegagalan Matematika Modern, tetapi didasarkan pada kesadaran baru
tentang pengenalan potensi diri setiap kumpulan
masyarakat
terutama di bidang matematika. Kurikulum matematika selama ini tidak mampu
menghilangkan perasaan rendah diri dari masyarakat masyarakat dunia ketiga,
kerana pendidikan matematika selama ini sarat dengan teori-terori yang
ditemukan oleh orang dari benua eropa,
sedangkan
budaya yang merupakan kearifan lokal itu sendiri terabaikan. Di sisi lain,
suatu pembelajaran matematika akan berkembang ke arah yang optimal apabila Etnomatematika dalam bentuk dan tujuan
asalnya oleh D’Ambrosio pada tahun 1977 itu berupa penggalian sejarah
matematika dari budaya sendiri dan psikologi pembelajaran serta pengajaran anak
bangsa sendiri. Etnomatematika muncul atau jawaban atas dominasi keilmuan
secara Eropusatisme, tetapi tidak juga bertujuan untuk membelokkan sejarah
matematika ke arah etnosentrisme. Penekanannya lebih kepada kebenaran dan kesimbangan
sejarah. Sebagai contoh, banyak matematika atau prinsip sains yang berasal dari
kebudayaan Islam tetapi kemudian diabaikan, atau ada unsur matematika yang sama
dalam budaya sendiri tetapi tidak mau mengkajinya apatah
lagi
memaparkan kepada dunia atau dimasukkan ke dalam kurikulum. Menurut Barton
(Barton, 1994: 196), etnomatematika merupakan kajian yang meneliti cara
sekelompok orang dari
budaya
tertentu dalam memahami, mengekspresikan, dan menggunakan konsep-konsep serta
praktik-praktik kebudayaannya yang digambarkan oleh peneliti sebagai sesuatu
yang matematis..
Oleh
karena Ethnomathematics adalah sebuah kajian keilmuan haruslah memiliki objek
kajian. Objek kajian dari etnomatematika yaitu untuk mengungkap organisasi dari
ide (konsep) yang tidak terpisah dari aktivitas matematika. Objek kajian etnomatematika
didapatkan dengan dua cara yaitu: (1) menginvestigasi aktivitas matematika yang
terdapat dalam kelompok budaya tertentu; (2) mengungkap konsep matematis yang
terdapat dalam aktivitas tersebut (Barton, 1994: 196). Atas dasar pentingnya
pengaitan budaya dengan pembelajaran matematika, maka penelitian etnomatematika
perlu mendapat ruang.
TAMBAHAN UNTUK BUDAYA
Matematika
dan Budaya
Kebudayaan
berasal dari kata sansekerta yaitu buddayah. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia arti budaya adalah pikiran dan akal budi. Dengan demikian budaya dapat
dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan dengan akal budi dan pikiran. Sedangkan
kebudayaan berarti keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial
yangdigunakan untuk memahami
lingkungan
serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakuknya. Menurut E. B.
Tylor budaya merupakan keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan kebiasaan lain
(Ratna, 2005). Sedangkan
menurut
ilmu antropologi, budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985). Hal tersebut berarti bahwa
hampir seluruh aktivitas manusia merupakan budaya atau kebudayaan karena hanya
sedikit sekali tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak
memerlukan belajar dalam membiasakannya. Sedangkan ahli sejarah budaya
mengartikan budaya sebagai warisan atau tradisi suatu masyarakat. Kajian
tentang kebudayaan dibagi menjadi tujuh unsur yang dapat ditemukan pada semua
bangsa di dunia, meliputi:
a.
Bahasa, dengan wujud ilmu komunikasi dan kesusteraan mencakup bahasa
daerah, pantun, syair, novel-novel, dan lain sebagainya.
b.
Sistem pengetahuan, meliputi science (ilmu-ilmu eksak) dan humanities
(sastra, filsafat, sejarah, dsb).
c.
Organisasi sosial, seperti upacaraupacara (kelahiran, pernikahan, kematian).
d.
Sistem peralatan hidup dan teknologi, meliputi pakaian, makanan,
alat-alat upacara, dan kemajuan teknologi lainnya.
e.
Sistem mata pencaharian hidup. Sistem mata pencaharian adalah cara yang dilakukan
oleh sekelompok orang sebagai kegiatan sehari-hari guna usaha pemenuhan
kehidupan, dan menjadi
pokok
penghidupan baginya seperti bertani, berlayar, dan sebagainya.
f.
Sistem religi, baik sistem keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan,
dewa-dewa, roh, neraka, surga, maupun berupa upacara adat maupun benda-benda
suci dan benda-benda religius (candi dan patung nenek moyang) dan lainnya.
g.
Kesenian, dapat berupa seni rupa (lukisan), seni pertunjukan (tari,
musik,) seni teater (wayang), seni arsitektur (rumah, bangunan, perahu, candi,
dsb),berupa benda-benda indah, atau
kerajinan.
Perkembangan matematika tidak hanya disatu lokasi saja, tetapi tumbuh dan berkembang
di berbagai belahan bumi ini. Matematika tumbuh dan berkembang di wilayah India,
Amerika, Arab, Cina, Eropa, bahkan Indonesia dan juga daerah yang lain.
Pertumbuhan dan perkembangan matematika terjadi karena adanya tantangan hidup
yang dihadapi manusia di berbagai wilayah dengan berbagai latar belakang budaya
yang berbeda. Setiap budaya mengembangkan matematika dengan cara mereka sendiri,
sehingga matematika dipandang sebagai hasil akal budi (pikiran) manusia dalam aktivitas
masyarakat seharihari. Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa
matematika merupakan produk budaya yang merupakan hasil abstraksi pikiran
manusia, serta alat pemecahan masalah. Sebagaiman diungkapkan oleh Sembiring
dalam Prabowo (2010) bahwa matematika adalah konstruksi
budaya
manusia. Pandangan matematika sebagai elemen budaya bukanlah sesuatu yang baru.
Ahli antropologi telah mengkajinya tetapi karena pengetahuannya tentang
matematika
menyebakan
generalisasinya menjadi terbatas, rekasi utama mereka hanya terbatas pada titik
tertentu saja misalnya pengetahuan artimatika pada budaya primitif (Wilder, 1950).
Meskipun begitu, ada juga ahli antroplogi yang mampu menjelaskan tentang lokus
matematika realistik yang terinspirasi dari kajian para filsuf dan
matematikawan (White, 1947)
TAMBAHAN UNTUK ETNOMATEMATIKA
Etnomatematika
dalam Pengertian
Penelitian
tentang Etnomatematika pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977 oleh D'Ambrosio,
yang merupakan seorang matematikawan Brasil. Beliau mendefinisikan
etnomatematika sebagai berikut:
“The
prefix ethno is today accepted as a very
broad
term that refers to the socialcultural
context
and therefore includes language, jargon,
and
codes of behavior, myths, and symbols. The
derivation
of mathema is difficult, but tends to
mean
to explain, to know, to understand, and to
do
activities such as ciphering, measuring,
classifying,
inferring, and modeling. The suffix
tics
is derived from techné, and has the same root
as
technique” (Rosa & Orey 2011).
Secara
bahasa, etnomatematika terdiri tiga kata yaitu awalan “etno” diartikan sebagai
sesuatu yang sangat luas yang mengacu pada konteks sosial budaya, termasuk
bahasa, jargon, kode perilaku, mitos, dan symbol. Yang kedua kata dasar “mathema”
cenderung berarti menjelaskan, mengetahui, memahami, dan melakukan kegiatan
seperti pengkodean, mengukur, mengklasifikasi, menyimpulkan, dan yang terakhir
pemodelan. Akhiran “tik “berasal dari techne, dan bermakna sama seperti teknik.
Sedangkan secara istilah etnomatematika diartikan sebagai:
"The
mathematics which is practiced among
identifiable
cultural groups such as nationaltribe
societies,
labour groups, children of
certain
age brackets and professional classes" (D'Ambrosio, 1985)
Artinya:
“Matematika yang dipraktekkan di antara kelompok budaya diidentifikasi seperti
masyarakat nasional suku, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu
dan kelas profesional" (D'Ambrosio, 1985) Istilah tersebut kemudian
disempurnakan menjadi:
"I
have been using the word ethnomathematics as
modes,
styles, and techniques ( tics ) of
explanation,
of understanding, and of coping with
the
natural and cultural environment ( mathema )
in
distinct cultural systems ( ethno )"
(D'Ambrosio,
1999, 146).
Artinya:
"Saya telah menggunakan kata Etnomatematika sebagai mode, gaya, dan teknik
(tics) menjelaskan, memahami, dan menghadapi lingkungan alam dan budaya (mathema)
dalam sistem budaya yang berbeda (ethnos)" (D'Ambrosio, 1999, 146). Berdasarkan
definisi tersebut,
etnomatematika
dapat diartikan sebagai matematika yag dipraktikkan oleh kelompok budaya, seperti
masyarakat perkotaan dan pedesaan, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia
tertentu, masyarakat adat, dan lainnya. D'Ambrosio (1985) menyatakan bahwa tujuan
dari adanya etnomatematika adalah untuk mengakui bahwa ada cara-cara berbeda
dalam melakukan matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika
akademik yang dikembangkan
oleh
berbagai sektor masyarakat serta dengan mempertimbangkan modus yang berbeda di
mana budaya yang berbeda merundingkan praktek matematika mereka (cara
mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain dan
lainnya). Dengan demikian, sebagai hasil dari sejarah budaya matematika dapat
memiliki bentuk yang berbeda-beda dan berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat pemakainya. Etnomatematika menggunakan konsep matematika secara luas
yang terkait dengan berbagai aktivitas matematika,
meliputi
aktivitas mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain,
menentukan lokasi, dan lain sebagainya. Matematika memiliki sejarah panjang
sebagai
disiplin ilmu yang bebas budaya yang tersisih dari nilai-nilai sosial (D’ambrossio,
1990).
Konsep
Etnomatematika
Istilah ethnomathematics dalam
bahasa Indonesia masih sangat jarang ditemukan, baik dalam kamus bahasa
Indonesia maupun dalam kajian matematika yang dilakukan oleh para pemerhati disiplin
ilmu matematika. Sebaliknya, ethnomathematics telah banyak dikaji dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Salah seorang ahli sains dari Malaysia,
Shaharir Mohamad Zain menurunkan tulisannya dalam Berita Harian Online (18
Juni, 1997) menulis tentang Ethnomathematics ke dalam bahasa Melayu
menjadi “etnomatematik” yang merujuk kepada upaya mengangkat etnis Islam
Melayu yang selama ini berada dalam tatanan pengetahuan yang masih rendah baik
di dalam bidang science pada umumnya maupun dalam bidang matematika
khususnya. Menurut Shaharir, sejak tahun 1991, bidang “etnomatematik”
dikaji secara bersama-sama melalui bidang ilmu sains dan menjadi satu
sub-bidang sains matematik untuk diajarkan dalam ruangan kelas. Jika kata ethnomathematics
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu menjadi “etnomatematik,”
seharusnya istilah ini dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “etnomatematika”
yang dibangun dari sufiks etno- yang merujuk pada kelompok budaya dan matematika
yang merupakan istilah yang sudah lama dikenal dan sudah menjadi disiplin
ilmu tersendiri yang diajarkan di lingkungan pendidikan formal dan informal di
Indonesia. Oleh karena itu, penulis menggunakan istilah “etnomatematika”
sebagai transliterasi dari istilah ethnomathematics dan selanjutnya
istilah etnomatematika digunakan pada kajian-kajian selanjutnya dalam
pembahasan ini.
Seperti pembahasan sebelumnya,
D’Ambrosio (dalam Rosa dan Orey, 2008:2-3) menguraikan etnomatematika secara
etimologi melalui tiga akar kata dalam bahasa Yunani, ethno-, -mathema-,
dan –tics untuk menjelaskan yang dimaksud dengan etnomatematika. Dalam
perspektif ini, D’Ambrosio (1985:5) memberi definisi tentang etnomatematika
sebagai ilmu matematika yang dipraktikkan oleh kelompok-kelompok budaya yang
berbeda yang diidentifikasi sebagai masyarakat pribumi, kelompok pekerja,
kelas-kelas profesional, dan kelompok anak-anak dari kelompok usia tertentu.
Selanjutnya
Bishop (1988:182) mengemukakan bahwa ada 3 bidang yang sedang dikembangkan
dalam etnomatematika yaitu: pertama, ilmu matematika dalam konteks budaya
tradisional, seperti penelitian yang dilakukan oleh Asher (1991), Zaslavky
(1973), Lean (1986) dan Haris (1991). Penelitian ini menggunakan pendekatan
antropologi; kedua perkembangan matematika dalam masyarakat di negara-negara
yang bukan negara Barat. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Ronan dan
Needham (1981), Yoseph (1991), dan Gerdes (1991) dalam Bishop (1994).
Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah yang didasarrkan pada
dokumen-dokumen masa lampau; dan ketiga, ilmu matematika yang dimiliki oleh
berbagai kelompok, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Lave (1984), Saxe
(1990), Deabreu (1988), dan Carraher (1985) dalam Bishop (1994). Penelitian ini
menggunakan pendekatan psikologi sosial, yang fokusnya menekankan pada
penggunaan matematika dalam situasi kehidupan nyata.
Etnomatematika
sebagai ilmu matematika yang dipraktikkan oleh kelompok-kelompok budaya yang
berbeda yang diidentifikasi sebagai masyarakat pribumi, kelompok pekerja,
kelas-kelas profesional, dan kelompok anak-anak dari kelompok usia tertentu.
No comments:
Post a Comment